Penulis: Br. Nuryaatmaja Gora Pawana, O. Carm. Editor: Agatha Regina Pratiwi
“LAUDATO SI ‘, mi’ Signore”, —“Terpujilah Engkau, Tuhanku”. Dalam nyanyian yang indah ini, Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti ibu yang jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka. “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menopang dan mengasuh kami, dan menumbuhkan berbagai buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rerumputan”.1 Relasi yang mesra dan intim antara manusia dengan alam di sekitarnya dapat kita rasakan dalam nyanyian indah Santo Fransiskus dari Asisi, seorang kudus. Bela rasa dengan alam ciptaan memampukan Fransiskus dari Asisi untuk peka terhadap dinamika hidup alam ciptaan di sekitarnya, seakan-akan bisa bersambung rasa berpaut hati dengan komponen kehidupan dan non-kehidupan berupa tumbuhan, hewan, angin, air, tanah, api, bulan dan matahari. Sungguh menarik bahwa bumi dianggap sebagai ibu yang memberi kehidupan kepada anak-anaknya, sementara apabila kita refleksikan bagaimana bumi menghidupi umat manusia, jelas bahwa si ibu hanya memberi tetapi tak mengharap kembali.
Semestinya kebaikan Sang Ibu Pertiwi ini ditimpali dengan respon kebaikan dari manusia sebagai anak yang dicukupi dan didukung kehidupannya dengan merawat bumi dan menjaga keutuhannya. Namun kenyataannya tidak demikian, ketika bumi memberi tak harap kembali, manusia justru mengeksploitasi. Pada saat bumi memberi air dan udara segar untuk mendukung kehidupan, manusia justru tidak tahu diri menumpahkan pelbagai polutan yang mengotori. Manusia telah diberi layak oleh Sang Ibu, namun manusia kemudian menjadi serakah, ingin mendapatkan yang lebih banyak, tidak peduli dengan komponen ciptaan yang lain, seenaknya sendiri dan menempatkan diri sebagai penguasa mutlak atas segala pemberian cuma-cuma itu. Perilaku-perilaku konkret tindakan manusia yang serakah dan samaunya sendiri terhadap alam ciptaan baik personal maupun komunal yang sering dijumpai antara lain membuang sampah sembarangan, boros air, penebangan liar, pembakaran hutan, pembuangan bahan berbahaya ke lingkungan, perburuan satwa dan lain-lain. Hal tersebut memicu instabilitas dan kerusakan ekosistem temporal bahkan permanen. Bumi menjadi sakit, kualitas lingkungan turun, sumber daya alam habis, dan pada akhirnya berdampak pada manusia sendiri berupa krisis lingkungan, antara lain pemanasan global, kekacauan iklim, kekeringan, banjir, kebisingan, penyakit, kelaparan dan lain-lain. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 terjadi salah satunya dipicu karena ketidakseimbangan lingkungan sehingga penyakit pada hewan dapat menjangkiti manusia dan menjadi penyakit yang mematikan. Dampak pelbagai krisis lingkungan tersebut tentu sangat merugikan dari sisi kesehatan, ekonomi, sosial dan budaya, pertahanan dan keamanan, mulai dari tingkat lokal lokasi krisis hingga berpengaruh pada wilayah global. Maka manusia perlu melakukan pertobatan ekologis!
Gereja Katolik mempunyai keprihatinan dan kepedulian terhadap fenomena kerusakan lingkungan yang mengancam keutuhan ciptaan. Melalui Ensiklik Laudato Si yang diterbitkan oleh Paus Fransiskus pada 18 Juni 2015, warga gereja pada khususnya dan semua orang, diajak melakukan tindakan-tindakan konkret menjaga keutuhan ciptaan, dimulai dari tindakan sederhana dan kontinyu yang mampu membangun kesadaran personal hingga komunal sebagai bentuk pertobatan ekologis. Dalam Ensiklik Laudato Si disebutkan bahwa krisis lingkungan yang perlu diperhatikan dan perlu segera diatasi yaitu (1) polusi dan perubahan iklim, (2) masalah air, khususnya ketersediaan air bersih dan penyakit-penyakit akibat turunnya kualitas air, (3) hilangnya keanekaragaman hayati, (4) penurunan kualitas hidup manusia dan kemerosotan moral, (5) ketimpangan global, (6) lemahnya tanggapan dunia internasional terhadap lingkungan hidup.2 Berdasarkan paparan di atas, kesadaraan dan kepedulian terhadap keutuhan alam ciptaan menjadi sikap yang penting dan mendesak untuk segera dimiliki dan dibangun dalam diri manusia.
Terinspirasi dari Ensiklik Laudato Si, Ordo Karmel Indonesia yang memiliki beberapa unit karya pendidikan mempunyai gagasan untuk mengaplikasikan suatu kurikulum pendamping kurikulum sekolah yang mengarahkan peserta didik untuk sadar dan terpanggil menjaga keutuhan ciptaan, yang kemudian disebut kurikulum Laudato Si. Sekolah Menengah Atas Katolik (SMAK) Santo Albertus Malang sebagai institusi pendidikan Katolik yang bernaung di bawah Ordo Karmel bertanggung jawab untuk mengintegrasikan kurikulum Laudato Si dalam kehidupan sekolah.
Tindakan konkret sekolah untuk membentuk sikap sadar dan peduli lingkungan, dimulai dari aksi-aksi sederhana seperti menyisipkan pesan-pesan singkat dan inspiratif tentang keutuhan alam ciptaan secara audio dan/atau visual saat kegiatan pembelajaran, baik saat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), Pertemuan Tatap Muka Virtual (PTMV), maupun saat pembelajaran sudah kembali normal seusai pandemi Covid-19. Menjadi sesuatu yang patut diapresiasi bahwa SMAK Santo Albertus (Dempo) Malang sudah melakukan beberapa program rutin yang selaras dengan kurikulum Laudato Si seperti mengurangi penggunaan kertas dengan proses administrasi pegawai secara on-line, pemilahan sampah organik dan anorganik, serta kegiatan ekstrakurikuler yang berbasis ekologis-ekonomis seperti agribisnis. Selanjutnya melalui kebijakan sekolah, perangkat akademik dan sistem manajemennya, sekolah akan merencanakan dengan lebih baik bagaimana mengelola sampah sekolah (waste management) menggunakan prinsip reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), repair (memperbaiki) dan recycle (mendaur ulang) sampah di lingkungan sekolah secara berkelanjutan. Setelah pandemi dan murid-murid kembali masuk ke sekolah, direncanakan pula kegiatan lain bernuansa merawat dan menjaga lingkungan di dalam atau di luar sekolah yang melibatkan kerja sama dengan institusi lain yang ber-visi misi ekologis dan dialog inter-kultural. Diharapkan melalui penerapan kurikulum Laudato Si di sekolah, SMAK Santo Albertus mampu membentuk peserta didik dan seluruh civitas akademikanya menjadi agen keutuhan alam ciptaan melalui doa, persaudaraan dan pelayanan. Viva Dempo!