Oleh: Stanley Adi Prasetyo
Tidak mudah mengingat kembali pengalaman sekolah di Dempo (baca: SMAK Santo Albertus Malang). Ada beberapa alasan bagi saya untuk menyatakan tak mudah mengingat, terutama untuk menuliskan kembali, tanpa masuk pada hal-hal yang “ngegombal”. Saya paling kuatir jika diminta untuk menulis tentang SMA Dempo saya akan membuat tulisan yang muluk-muluk, memuji habis, atau malah mengultuskan Dempo.
Beberapa alasan untuk mengatakan tak mudah mengingat kembali semua hal tentang Dempo, antara lain karena saya sudah meninggalkan Dempo dan kota Malang hampir 40 tahun lalu. Kedua belajar di Dempo hanya seper sekian dari kehidupan masa anak-anak dan remaja saya, selain di sekolah dasar dan juga di sekolah menengah pertama. Ketiga, saat di Dempo saya adalah salah satu anak yang tergolong nakal. Aktivitas saya lebih banyak di luar sekolah. Kegiatan saya, selain menempuh pelajaran di sekolah, juga aktif ikut berbagai kelompok olahraga dan klub pecinta alam. Setiap jam pelajaran berakhir, pasti setelah makan siang saya berada di antara lapangan basket, lapangan volley, lapangan sepakbola, atau di kolam renang. Itu aktivitas rutin. Di akhir pekan atau masa liburan saya pasti ada di lembah, lereng atau di antara puncak gunung yang banyak bertebaran di sekitar kota Malang.
Yang masih saya ingat adalah teman-teman saya, beberapa perkelahian dan tawuran, serta beberapa aktivitas lain yang khas anak muda jaman itu. Terakhir datang ke kota Malang dan mampir ke SMA Dempo, saya menemukan sebagian besar sudah berubah. Baik lansekap kota, maupun lingkungan dan tata ruang sekolah SMA Dempo. Perubahan-perubahan tersebut menunjukkan bahwa SMA Dempo terus berdenyut dan berkembang. Hampir tak ada lagi guru SMA Dempo yang saya kenal. Semuanya sudah pada pensiun. Sebagian guru-guru saya bahkan sudah meninggal dunia. Bahkan teman seangkatan saya yang mengajar di SMA Dempo juga sudah pensiun. Bayangkan.
Meski sudah lama meninggalkan Malang dan Dempo, dan banyak kehilangan banyak hal tentang detil fisik kota dan fisik sekolah SMA Dempo yang sudah berubah, saya masih punya memori kuat tentang keduanya. Januari 2019 lalu saat saya datang ke Malang dan harus mengisi acara bersama Menteri Kominfo Rudiantara, Prof Dr. Bagir Manan, Sujiwo Tedjo dan lain-lain di Gedung Kesenian Gajayana Malang, saya katakan kepada sekitar 100 penonton yang datang bahwa saya telah berkeliling ke berbagai kota di hampir seluruh Indonesia. Saya banyak berjumpa dengan kera-kera asal Malang. Berinteraksi dengan arek Malang itu kita bisa menemukan 3 karakter, yaitu: jujur, berani, dan punya solidaritas tinggi. Di mana saja tiga karakter tersebut selalu menonjol.
Saya juga merasakan hal yang sama yang saya miliki dalam diri saya. Paling tidak selalu berusaha jujur, selalu berusaha berani dan bertanggungjawab, dan tentu saja selalu berupaya menunjukkan solidaritas kepada sesama orang yang berasal dari kota Malang. Ucapan saya langsung disambut penonton dengan teriakan “Salam Satu Jiwa”.
Di hadapan Walikota Malang yang duduk di kursi depan saya sampaikan, bahwa sebagai orang Malang yang memiliki ciri tersebut saya kecewa saat tahu bahwa Walikota Malang (yang lama) bersama puluhan (sebagian besar) anggota DPRD Kota Malang dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pak Walikota langsung tersenyum kecut. Profesor Bagir Manan saya lihat tertawa terbahak-bahak. Barangkali itu adalah bagian dari perubahan yang ada di kota Malang.
Terkait dengan Dempo, tak ada hal negatif yang perlu saya sampaikan dalam tulisan ini. Namun sebagaimana yang pernah saya sampaikan saat diminta menyampaikan pandangan pada 40 hari meninggalnya Romo Sis (Pater E. Siswanto) di Aula SMA Dempo pada Mei 2002, bahwa kita semua kehilangan figur yang selama ini mempersatukan para murid, mantan murid, orang tua murid dan para alumni yang menyebar di berbagai belahan dunia. Bukan tak mungkin alumni Dempo akan terus hidup di bawah bayang-bayang kebesaran Dempo di era Romo Sis. Dan kalau ini terjadi, semua perubahan bahkan termasuk kemajuan Dempo yang dicapai oleh para pengganti Romo Sis, akan disangkal. Sungguh tugas berat bagi siapa pun kepala sekolah dan pimpinan Carmelit yang harus meneruskan kepemimpinan almarhum Romo Sis.
Romo Siswanto adalah bagian dari kisah sukses Dempo. Pernah saya bercanda kepada almarhum Romo Sis bahwa Romo Sis berkuasa lebih lama dari penguasa Orde Baru. Hal ini saya utarakan kepada Romo Sis pasca Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 2 Mei 1998 setelah 32 tahun berkuasa. Romo Sis hanya tersenyum dan mengedipkan matanya saat itu. Sukses dan lama berkuasa, membuat orang sulit mencari penggantinya. Itu ini yang ingin saya sampaikan.
Ya, ini serius. Di banyak tempat dan berbagai kesempatan saya banyak bertemu, bergaul, dan berinteraksi dengan teman-teman yang berasal dari sekolah-sekolah Katolik ungggulan di Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Bandung dan Jakarta. Banyak di antara alumninya yang juga menjadi orang sukses dan menempati jabatan-jabatan penting. Apa bedanya SMA Dempo (Sint Albertus), dengan Sint Louis, Frateran, De Britto, Loyola, Kanisius, Santa Ursula dan lain-lain yang terkenal itu. SMA-SMA itu juga memiliki figur kepala sekolah yang flamboyan dan mumpuni.
Jelas itu adalah tantangan bagi Dempo. Saya pernah sampaikan secara detil persoalan ini pada September 2008. Tapi sepertinya banyak orang yang tak menyimak karena lebih asyik berdiskusi sendiri dan berbincang dengan teman-teman lama dari berbagai angkatan yang hadir pada malam itu.
Bagi saya SMA Dempo bukan sekadar tempat belajar sejarah, geografi, bahasa, ilmu gambar, matematika, fisika, kimia, biologi, stereometri, dan goneometri dan kawan-kawan. Sebagian dari yang saya pelajari saat di SMA Dempo bahkan tak lagi terpakai saat saya kuliah di Teknik Elektro. Semua ilmu dan pengetahuan yang bersifat umum itu seperti menguap bagitu saja. Hanya sedikit matematika dan fisika yang berguna karena saya gunakan untuk mendalami hal-hal lanjutannya.
Dalam menekuni pekerjaan bahkan saya tak lagi bersinggungan dengan bidang elektro yang menjadi latar belakang disiplin keilmuan saya. Begitu lulus saya bekerja menjadi peneliti, lantas menjadi wartawan, lantas menjadi “kepala sekolah”, menjadi direktur dan lain-lain. Saya belakangan lebih banyak berinteraksi dengan pengetahuan sosial, ilmu kepolisian, hukum, hak asasi manusia. Yang jadi pertanyaan sekarang lantas apakah menyesal pernah sekolah di SMA Dempo? Apakah menyesal belajar banyak hal toh akhirnya sama sekali tak terpakai?
Saya harus jawab: TIDAK. Saya justru merasa beruntung pernah menjadi bagian dari SMA Dempo. Di Dempo saya tak banyak menghafal, tak banyak mengingat rumus, dan tentu saja tak hanya belajar di kelas. Di SMA Dempo saya banyak menyimak cara dan tuturan yang disampaikan bapak-ibu guru, saya belajar tentang kedisipinan, belajar tentang kejujuran, belajar tentang menghormati orang yang harus kita tuakan. Dari teman-teman dengan berbagai latar belakang saya belajar berinteraksi dan saling respek serta membangun solidaritas. Dari almarhum Pak Sakip (penjaga sekolah paling senior di jaman saya), saya belajar tentang kesetiaan dan ketulusan. Dari OSIS Dempo saya belajar berorganisasi.
Bila saya refleksikan kembali semuanya, saya baru sadar perjalanan saya sejauh ini ternyata dimulai dari SMA Dempo. Masa akil balig di jaman SMA ini rupanya tempat belajar saya dan tanpa sadar Dempo adalah tempat saya mengasah daya pikir, membangun perilaku yang baik dan sikap integritas. Buat saya, Dempo adalah sekolah plus. Sekolah luar-dalam.***
Penulis adalah Alumni SMA Dempo, Ketua Dewan Pers 2016-2019, juga mantan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 2007-2012.