Siswa kelas XI SMA Katolik St. Albertus bersiap-siap untuk meninggalkan “zona nyaman”. Mereka harus hidup tanpa menggunakan gawai selama empat hari tiga malam. Siswa sebanyak 321, mengikuti program live-in. Program ini adalah program tahunan yang diadakan oleh sekolah. Tahun ini, live-in dilaksanakan di lima tempat yang berbeda. Kelima tempat tersebut adalah Desa Kluwut, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Panti Wherda Pangesti Malang, Panti Asuhan Bhakti Luhur Malang, Pondok Pesantren Sabillrrosyad Gasek, Malang, dan Vihara Dhammadipa Arama, Batu. Berbeda dengan kegiatan live-in tahun lalu yang hanya dilaksanakan di dua tempat, yaitu di desa dan di panti asuhan.
“Ini akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan oleh anak-anak”, ungkap Bernardus Purnawan, ketua live-in tahun 2018. Kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 10-13 Desember 2018 akan menjadi pengalaman pertama bagi siswa untuk mencari nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Pada awal keberangkatan program live-in, sebagian besar siswa takut dan merasa gelisah untuk hidup membaur dengan orang-orang baru. Mereka merasa akan “mati” tanpa memegang gawai selama empat hari.
Penempatan live-in di Desa Kluwut, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang di akomodasi oleh Gereja Stasi Ngrejo Paroki Kepanjen. Begitu tiba di Stasi Ngrejo, siswa sudah dinantikan oleh keluarga angkat mereka masing-masing. Sambutan dari keluarga angkat yang hangat dan ramah, membuat ketakutan dan kegelisahan mereka mulai mencair. Senyum anak-anak mulai mengembang. Siswa mulai mengikuti kegiatan di masing-masing keluarga angkat. Ada yang diajak menanam padi di sawah, mencangkul, mencari kayu di hutan, bahkan ada yang menggebalakan itik di sawah. Hal inilah yang ditanamkan kepada mereka bahwa untuk bekerja mencari uang, keluarga angkat mereka harus membanting tulang.
Begitu juga siswa yang ditempatkan di Panti Wherda Pangesti, mereka harus rela merawat oma dan opa yang tinggal ditempat itu. Menyuapi dengan sabar, menghibur mereka dengan bernyanyi adalah salah satu kegiatan yang sehari-hari harus dilakukan. Di Panti Asuhan Bhakti Luhur, mereka juga harus hidup dengan anak-anak panti. Merawat penghuni panti yang disabilitas, mengajari pelajaran bagi mereka yang bersekolah.
Yang lebih istimewa lagi adalah anak-anak yang penempatannya di pondok pesantren dan vihara. Inilah salah satu bentuk toleransi beragama yang ingin diajarkan oleh SMA Dempo (SMAK St. Albertus). Mereka berinteraksi dan mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh pondok pesantren dan vihara. “Begitu banyak nilai-nilai yang Saya dapatkan ketika mengikuti live-in ini, nilai-nilai ini yang tidak dapatkan di kelas”, ujar Michelle, peserta live-in di desa. Viva Dempo.