Oleh: M. St. Hertoto
Hingga kini, di halaman dalam SMA Katolik St. Albertus (Dempo) ada sepasang pohon genitu (kenitu, chrysopyllum cainito). Konon, yang di sebelah barat berkelamin jantan – tak pernah berbuah – dan yang di sebelah timur selalu berbuah lebat pada musimnya.
Di bawah pohon yang rajin berbuah itulah sejak 1970an hingga 1990an digelar acara tahunan Malam Puisi Genitu atau Malam Genitu. Biasanya pada pertengahan Agustus, berimpit tanggal dengan pesta nama St. Albertus Trapani (Sicilia), ulangtahun sekolah.
Dulu panggungnya – kalau dianggap perlu ada – sederhana, hanya susunan meja-meja kelas kayu jati yang ditutup karpet pinjaman atau terpal saja, cukup kokoh untuk ‘begidhakan’. Tidak ada protokoler ketat. Siapa pun boleh naik dan melawak, membaca puisi, menyanyi dan bermain gitar dan atau alat musik lain, berpantomim atau drama. Tak jarang, ada yang naik seperti hanya untuk menertawakan dirinya sendiri dan mengajak semua ikut melegakannya.
“Spontan seorang siswa melompat naik dan mulai berdeklamasi. Tidak ada yang mencegah atau memintanya turun meskipun dia – mungkin – belum atau tidak terdaftar sebagai pengisi acara. Banyak yang menyoraki kenekatannya itu. Tapi sekarang dia dikenal sebagai seorang penyair, sastrawan,” kenang seorang guru senior.
Saya mengalami keramahtamahan panggung itu, bahkan ketika belum resmi sebagai siswa. Seorang teman meminta saya menyanyikan beberapa lagu Ismail Marzuki dan membacakan puisi saya dengan iringan gitar dan piano. Berbeda dari penampil lain sebelumnya, ‘lagu-lagu perjuangan’ aneka irama – apalagi keroncong dan seriosa – tampaknya memang jarang sekali diperdengarkan di panggung itu.
Sesudah menjadi siswa dan aktivis OSIS, pun karena perintah atau pesanan – apalagi sekembalinya saya ke Alma Mater tanpa kewajiban membayar SPP selama nyaris 20 tahun – saya menginisiasi beberapa acara kesenian di bawah payung pohon genitu itu. Polanya tetap. Suguhannya juga masih ‘pala-pendhem’ yang murah meriah dan teh yang cepat dingin. Hadirin bebas masuk keluar dan memilih tempat menonton, tanpa undangan apalagi karcis!
Lama kelamaan panggung menjadi lebih lebar, aliran listrik berkekuatan jauh lebih besar semakin menyemarakkannya dengan kebyar dan ingar-bingar. Semua menjadi lebih teratur, karena panggung Malam Genitu dijadikan tempat untuk memilih acara unggulan yang akan ditampilkan dalam Pentas Seni/ Dempo Fair.
Puisi … tak pernah dibisikkan di situ lagi. Remaja zaman sekarang pun sudah jarang berpuisi karena ‘gadget’ di tangan mereka kini jauh lebih efektif menautkan janji tanpa pikir panjang lagi. Bahkan dalam sebuah acara reuni, ada yang seperti menarikan ‘Bambangan Cakil’ seirama puisi reflektif yang dibacakan temannya!
Penulis adalah seorang Alumni Dempo dan Pendidik di Dempo (Purna)