Ein Schuljahr in Deutschland (Satu tahun pelajaran di Jerman)
Penulis : Vincentia Nadine Wijaya XI-A.8/20
Kembali ke Indonesia, ke Malang, ke rumah saya di Bareng Kulon setelah menghabiskan dua belas bulan kurang sepuluh hari di Jerman, saya merasakan banyak hal. Terlalu banyak, pikir saya awalnya. Tumpah ruah senang dan lega saya karena akhirnya berjumpa kembali dengan keluarga di Malang namun juga kesedihan luar biasa mengingat rumah saya untuk setahun terakhir satu tiket pesawat seharga motor matic jauhnya. Namun, saya harus terus berproses dimanapun saya berada. Maka sebuah prinsip saya tanamkan dalam kepala, “Semua babak kehidupan akan berakhir dan berakhirnya satu hanya berarti mula yang baru untuk lainnya.”
Satu tahun ajaran sekolah, kita semua tahu pasti, tidak berlalu begitu saja. Ribuan kenangan hangat saya buat nan jauh disana, dan walaupun saya pasti melewatkan menceritakan 95%-nya, saya akan tetap mencoba. Berikut pengalaman satu tahun ajaran saya melakukan pertukaran pelajar di Jerman:
Semua dimulai dari guru bahasa Jerman saya, Ibu Ni Nyoman Maharaya, atau kebanyakan dari kita kenal sebagai Frau Raya. Bulan Desember itu beliau mengalokasikan satu jam pelajaran untuk memberitahukan program pertukaran dari Experiment e.V., premisnya; satu tahun pelajaran di Stralsund, Jerman, bersama satu keluarga asuh, dan semua biaya ditanggung oleh mereka sebagai sponsor. Saya melonjak kegirangan dari balik layar laptop saya. Jika diingat-ingat, saya membayangkan salju dan musim dinginnya, sih.
Proses seleksinya tidak terlalu menuntut; google form, data diri, pernyataan pribadi/esai pribadi, serta foto dan video perkenalan. Saya akan spill sedikit, Saya dipilih oleh orangtua asuh saya dari kandidat yang lain karena saya menyelipkan sedikit (15 detik) bahasa Jerman dalam video perkenalan satu menit saya (dengan aksen sok Amerika yang mengerikan jika saya lihat kembali sekarang). Keputusan spontan untuk memasukkan kalimat-kalimat perkenalan sederhana yang saya dapatkan dari materi pembuka semester pertama pelajaran Jerman itu mengubah hidup saya selamanya, saya kadang masih geleng-geleng tidak percaya.
Setelah kabar penerimaan saya pada bulan Februari, datanglah enam bulan paling menegangkan dalam hidup saya. Saya harus mengurus visa untuk ke Jerman. Dengan waiting list tiga bulan untuk pihak kedutaan bahkan memproses aplikasi permohonan saya, saya mengerjakan tugas selanjutnya, belajar bahasa Jerman.
Ya, saya baru belajar bahasa Jerman enam bulan sebelumnya. Sebelum limin Jerman Dempo, mulut saya belum pernah menyentuh satupun kosa kata Jerman selain Guten Tag atau Ich liebe dich! Lalu, jika ditanya, “Kamu kok berani banget ke Jerman tanpa kemampuan bahasa Jerman yang mumpuni, Dine?” Jawaban saya adalah saat itu saya yakin-yakin saja dengan kemampuan bahasa Inggris saya dan saya percaya diri dapat menguasai bahasa Jerman dalam waktu singkat (ternyata ini mustahil).
Dengan bimbingan dari Frau Raya dan Herr Vendy, saya cepat-cepat meningkatkan bahasa Jerman saya sambil menunggu waktu keberangkatan. Akhirnya, saya berangkat juga pada awal September, dua minggu di belakang jadwal karena satu dua masalah terkait visa saya yang membuat saya harus melewatkan dua minggu persiapan di Augsburg. Oh, ya! Pada titik ini saya sudah beberapa minggu membuat kontak reguler via DM Instagram dengan kedua orang tua asuh saya dan seorang anak pertukaran dari Jepang yang ternyata juga ditempatkan di keluarga yang sama, Yuzuki Okumura namanya. Penerbangan saya lebih dari 24 jam lamanya dengan transit dua jam di Taipei, Taiwan, dan saya akhirnya menginjakkan kaki di bandara internasional Frankfurt pagi hari sekitar jam 10 waktu lokal.
Saya dijemput oleh bapak asuh saya dan kami langsung masuk mobil untuk mulai menempuh perjalanan darat 12 jam menuju rumah saya kedepannya di bagian utara. Saya masih ingat jelas betapa terkejutnya saya dengan semua hal di Jerman. Yang masih dianggap lucu oleh keluarga asuh saya adalah betapa terpukaunya saya melihat danau-danau dan sungai-sungai bersih, biru memantulkan warna langit. Hal kedua adalah kecepatan kendaraannya. Perjalanan kami ditempuh melalui der Autobahn atau jalan tolnya Jerman, yang mana batas kecepatannya menurut saya sangat tinggi (130 km/h). Bahkan pada beberapa area bebas regulasi tidak ada batasan kecepatan sama sekali, alias pengemudi bebas menyetir sekencang yang mereka mau.
Selain itu, saya juga takjub sekali dengan bentang alamnya. Hutan-hutan pinus hijau tua dan bukit-bukit berladang hijau muda yang kadang seakan ditaburi hewan ternak seperti domba, sapi, atau kuda, atau kadang, jika anda beruntung, juga hewan liar seperti rusa atau rubah. Saya tidak akan lupa menyebutkan rumah-rumah pedesaan Jerman yang cantiknya melebihi miniatur rumah boneka dengan padanan warna, ornamen dan arsitekturnya, serta taman-taman berbunganya itu.
Sesampainya di rumah, saya disambut oleh ibu asuh saya, Yuzuki, dan anak laki-laki ketiga dari orangtua asuh saya. Setelah perkenalan ulang dan sedikit orientasi rumah, saya diberi waktu untuk istirahat. Beberapa hari kemudian, saya sudah harus masuk sekolah. Saya ditempatkan pada sebuah Gymnasium di kota Stralsund, lima belas menit jauhnya jika ditempuh menggunakan mobil dari rumah kami dan saya ditempatkan di kelas 10C. Pada saat saya masuk, terdapat 22 siswa disitu, satu anak laki-laki dan sisanya perempuan. Kelas yang agaknya spesial, kelas Seni. Pada semester kedua, kelas kami mendapat tambahan seorang siswa yang baru kembali dari 6 bulan pertukaran ke Norwegia.
Ibu asuh saya adalah guru informatika dan fisika. Beliau pernah mengajar untuk waktu yang cukup lama di sekolah saya, sehingga saya bisa mendapat tur kecil dari beliau. Bangunan sekolah saya tergolong bangunan lama, namun ruang kelasnya rutin diperbarui sehingga terasa cukup nyaman. Di dalam kelas ada layar touchscreen seukuran satu papan besar dan di sampingnya terpasang dua papan whiteboard yang dapat dilipat menutupi layar tadi. Pelajaran yang saya terima di kelas 10 disana masih mencakup semua pelajaran. Artinya, penjurusan baru dilakukan di kelas 11 dengan sistem yang mirip dengan perkuliahan. Pelajaran yang saya terima termasuk pelajaran saintifik seperti fisika, biologi, kimia, matematika, dan pelajaran sosial seperti sejarah, ekonomi (AWT), ilmu pengetahuan sosial (Sozialkunde), dan pelajaran bahasa seperti bahasa Jerman, bahasa Inggris, dan pilihan pelajaran bahasa ketiga (Latin, Perancis, Spanyol, Rusia, Swedia, dan Plattdeutsch).
Sistem penilaian di Jerman berbeda dengan di Indonesia. Skornya berkisar antara 1-6, dengan 1 sebagai skor terbaik dan 6 sebagai skor terburuk. Kebanyakan anak disini juga terbiasa mencatat nilai yang mereka dapat di buku notes mereka dan selalu melakukan kalkulasi perkiraan nilai akhir mereka sendiri, sehingga mereka tahu harus meningkatkan performa di pelajaran mana saja. Di buku notes ini, mereka juga mencatat agenda kelas seperti jadwal ulangan, tenggat tugas, dan tanggal-tanggal kegiatan sekolah (seperti Projekttag, Sommerfest, dll.)
Jadwal pelajaran di sekolah saya juga selalu di-update lewat aplikasi dan jika ada jam kosong, siswa-siswi boleh meninggalkan kompleks sekolah. Saya biasanya mampir ke rumah teman atau bersama-sama pergi ke kafe dan memesan Franzbrötchen dan heiße Schokolade (atau Eiskaffee di musim panas) kafe langganan saya di Stralsund adalah Junge Bäckerei! Ada juga tempat Döner (sejenis kebab Turki) yang sering dikunjungi para siswa yaitu Bistro 90. Jika karena tidak ada guru dan pelajaran dimulai lebih siang atau pelajaran berakhir lebih cepat, para murid juga sangat dipersilakan hanya mendatangi jam yang diperlukan saja. Saya pernah hanya datang ke sekolah untuk tiga jam pelajaran dan sisanya saya habiskan di pantai bersama teman-teman.
Saya bersyukur dalam pengalaman saya mencari teman saya tidak mengalami banyak kesulitan atau mungkin saya hanya beruntung. Namun teman-teman sekelas saya sangat ramah dan terbuka. Awalnya kami hanya berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris karena bahasa Jerman saya jelek banget (walau bulan-bulan terakhir kami sudah bisa full Jerman).
Pun dengan penempatan keluarga asuh saya merasa luar biasa beruntung karena tentunya tidak semua anak pertukaran mendapat keluarga yang baik dan cocok dengan masing-masing mereka. Keluarga asuh saya telah membuka pintu rumah mereka untuk anak-anak pertukaran pelajar sejak 15 tahun yang lalu dan saya serta Yuzuki adalah anak pertukaran jangka panjang (1 tahun pelajaran) terakhir mereka.
Satu tahun ini berhasil memutarbalikkan pandangan saya tentang Jerman dan penduduknya. Harus saya akui, sebelum program ini saya melihat orang Jerman dingin, efisien dan segala adjektif lain yang mungkin digunakan orang awam untuk menggambarkan penduduk Jerman. Namun banyak dari mereka adalah orang-orang terhangat yang pernah saya temui, sangat terbuka, dan siap membuka tangan untuk membantu sesamanya, selalu. Orang –orang yang pada awalnya memang tidak akan langsung menyapa dengan luar biasa ramah atau apa, namun dengan waktu akan menjadi orang-orang paling bisa diandalkan di hidupmu.
Sekian yang bisa saya ceritakan dari pengalaman saya satu tahun pelajaran di Jerman. Tentu masih banyak cerita yang tidak bisa saya paparkan di sini. Namun, saya harap artikel ini telah memberi sedikit informasi soal Jerman dan penduduk, betapa terbuka dan ramahnya mereka, Ich liebe Deutschland für immer.