Mengenal Mental Health Generasi Z di Era Digitalisasi
Penulis : Anastasia Sherly Privana (Guru Bimbingan Konseling)
Manusia seringkali mengelompokkan manusia lain dengan kategori tertentu. Salah satu bentuk pengelompokan yang hingga saat ini masih berkembang adalah pengelompokan suatu generasi. Menurut David Stillman dan Jonah Stillman (2018), nama atau istilah generasi yang tercetus antara lain Generasi Baby Boomers (1946-1964), Generasi X (1965-1979), Generasi Y (1980-1994), dan Generasi Z (1995-2012). Secara rentang tahun, Gen Z terlahir pada tahun 1995 hingga 2010 yang artinya remaja SMA saat ini menjadi anak-anak Generasi Z itu sendiri. Mereka dilahirkan dimana kemajuan teknologi berperan penting dalam setiap kehidupan. Sehingga secara karakteristik tentu saja berbeda dengan generasi lain sebelumnya.
Sering disebut sebagai net generation atau generasi yang paham akan teknologi generasi Z lebih menyukai cara berkomunikasi lewat smartphone yang tidak mengharuskan penggunanya bertemu secara langsung di dunia nyata. Mereka sangat akrab dengan aplikasi Whatsapp, Facebook, Instagram, Twitter, Tiktok, dan lain sebagainya. Hal tersebut terjadi dikarenakan bentuk komunikasi virtual yang dapat dilakukan dimanapun, menarik, bisa menjangkau dunia yang lebih luas, dan dapat diakses dengan gadget pada satu genggaman saja. Tidak hanya dalam hal berkomunikasi, pada saat ini, informasi dapat dicari dengan mudahnya lewat internet tanpa harus mendatangi tempat-tempat yang menyimpan informasi seperti perpustakaan. Sehingga hal tersebut membuat teknologi memiliki daya tarik tersendiri bagi Generasi Z terutama dalam pemanfaatan di kehidupan sehari-hari.
Menurut Kyrousi dkk (2022), generasi Z memiliki karakteristik unik seperti paham teknologi, memiliki tujuan yang tinggi, mayoritas berada di dunia kerja atau sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi, berani mengambil resiko dibanding generasi sebelumnya, butuh dukungan dan kurang mandiri, ingin menghabiskan hidup dengan berkomunikasi secara digital, keterampilan sosial yang minim, kurang memiliki keterampilan dalam pemecahan masalah, serta suka bekerja sendiri. Di balik karakteristik tersebut, Gen Z juga tidak hanya paham teknologi melainkan lebih kepada memanfaatkan kecanggihan teknologi sebagai alat hidup yang mereka butuhkan sehari-hari. Hal tersebut mendorong gen Z untuk memiliki pola pikir yang luas dan didukung oleh kreativitas yang dimiliki.
Akan tetapi, terdapat berbagai problematika yang harus dihadapi oleh generasi Z terutama dalam aspek kesehatan mental mereka. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menemukan bahwa kelompok usia produktif yang mengalami gangguan kesehatan mental adalah sebanyak 12 juta jiwa. Gangguan yang dialami mencakup gangguan emosional, gangguan perilaku, gangguan makan, psikosis, bunuh diri, self harm, dan perilaku mengambil risiko. Salah satu gangguan yang banyak disoroti di kalangan remaja SMA yakni self harm. Banyak kasus self harm yang dialami oleh remaja dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi. Alasan tersebut antara lain permasalahan pada anak broken home, merasa rendah diri, insecure, masalah asmara, dan lain sebagainya. Rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki membuat keinginan untuk melakukan self harm akan semakin parah. Sebabnya, remaja yang sulit mengontrol emosinya akan cenderung kesulitan untuk mencari solusi dari permasalahan yang terjadi dan memilih melampiaskan kepada hal lain. Oleh karena itu, dibutuhkan kepekaan dari lingkungan dan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental pada remaja.
Perlu diketahui bahwa masalah mengenai kesehatan mental bukanlah masalah yang sepele dan dapat diabaikan. Banyak hal yang akan terjadi jika remaja hidup dengan gangguan kesehatan mental yang mungkin tidak disadari oleh sebagian orang. Selain itu, perkembangan teknologi membuat remaja berbondong-bondong untuk melakukan self diagnosis sehingga memunculkan berbagai asumsi. Perlunya kesadaran untuk memeriksa diri pada pihak yang kompeten di bidang psikologi, misalnya konselor, psikolog, dokter jiwa, atau psikiater sehingga gangguan-gangguan mental yang terjadi dapat ditangani sesegera mungkin dan meminimalisir tindakan self diagnosis. Masalah kesehatan mental bukan hanya tentang masalah perorangan saja sehingga kita sebagai pribadi sosial perlu empati terhadap apa yang terjadi pada orang-orang di sekitar kita.
Mulai dari sekarang, mari kita peduli pada kesehatan mental setiap pribadi yang tinggal di sekitar kita. Banyak hal yang bisa kita lakukan. Misalnya, menjaga etika ketika bersosial media, menjaga ucapan ketika berkomunikasi dengan orang lain, mendengarkan ketika teman butuh tempat bercerita, tidak memberikan label negatif pada orang lain, dan memberikan semangat ketika teman berada dalam keadaan yang terpuruk. Jadilah agen-agen penyelamat bagi pribadi yang krisis kesehatan mental. Menjadi hebat bukan hanya tentang menjadi pribadi yang dapat mengubah dunia tetapi mulailah untuk memberikan sedikit perubahan baik pada sekitarmu. Sayangi dirimu, jaga mentalmu, jadilah pribadi hebat yang membawa perubahan pada dunia.