PENDIDIKAN KEPRAMUKAAN DI SMA KATOLIK ST. ALBERTUS MALANG
Penulis : Nur Christian *) Penulis adalah Pembina pramuka dan Guru biologi di SMA Katolik St. Albertus Malang
Berefleksi bersama untuk menandai HUT Pramuka Indonesia ke-62
Pendidikan kepramukaan mulai dihidupkan di SMA Katolik St. Albertus Malang sekitar tahun 2010-2011. Hingga kini (2023), kepramukaan menjadi bagian dari pendidikan non formal di SMA Katolik St. Albertus Malang, mewarnai kehidupan masa remaja peserta didik, dan memberi bekal keterampilan serta pengalaman-pengalaman sisi lain kehidupan.
UNTUK APA PENDIDIKAN KEPRAMUKAAN DIHIDUPKAN DAN UNTUK APA MENGIKUTI PRAMUKA? Pertanyaan yang sangat wajar bagi orang tua dan kaum muda yang memang tidak tahu atau memang tidak berminat mengikuti kegiatan Pramuka. Namun pertanyaan tersebut akan terjawab ketika anggota dewasa melihat generasi masa depan Indonesia ini tidak mengenal tetangganya, kurang mampu hidup berkomunikasi/bersosialisasi (hidup bertetangga) atau relasi sosial di tempat lain, kurang mampu berpikir kreatif atau memiliki inisiatif untuk menyelesaikan kerusakan alat di rumah, atau bahkan tidak muncul saat kerja bakti, serta tidak tahu harus melakukan apa apabila terjadi kondisi yang darurat. Ada sebuah kesenjangan dimana siswa dibekali dengan begitu banyak pengetahuan namun lupa dibekali/dipersiapkan untuk hidup bermasyarakat. Padahal, mereka akan kembali dan ikut membangun masyarakat. Apakah rutinitas formal dan eksklusif justru menjadi faktor pembatas atau pemisah untuk berelasi dan bersosialisasi dalam masyarakat? Mungkin kita akan merasa aneh, mengapa ada budaya rela menunggu, jongkok, dan mencari sedikit “klontangan” ketika ada yang meninggal? Itu realitanya. Namun di sisi lain menunjukkan “mereka hadir dan ada” di masyarakat. Heterogenitas kehidupan di masyarakat Indonesia memang sangat tinggi. Belum lagi adanya perbedaan SARA yang semakin ditampak-tampakkan perbedaannya, sehingga membentuk jurang kondisi mayoritas dan minoritas relatif.
Tahun ini, Pramuka Indonesia merayakan ulang tahunnya yang ke-62 tahun. Usia setengah abad lebih menunjukkan usia yang semakin matang untuk hadir dan membina generasi muda dalam sistem among, seperti tema yang diangkat tahun ini yaitu profesional dan proporsional. Profesional dikaitkan dengan kualitas dari anggota dewasa dalam mendampingi anggota muda untuk menjadi generasi yang profesional menghadapi tantangan zaman. Proporsional mengacu pada usaha fungsional kepramukaan dalam harmoni mengisi relung (fungsi) pendidikan kaum muda sesuai perannya dengan mengoptimalkan sistem among yang bersumber dari Prinsip Dasar Kepramukaan dan Metode Kepramukaan (PDK-MK). Hal ini semakin penting manakala sistem pendidikan formal memiliki batasan-batasan jangkauan sejalan perkembangan peradaban dan profesionalisme, dimana rasio/nalar benar-benar dibentuk dan lebih dikedepankan. Tentunya hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi pendidikan kepramukaan yang secara non formal hadir bagi generasi miilenial +62. Pendidikan non formal pun harus berevolusi sesuai kebutuhan zaman untuk konteks generasi milenial. Relevansi pendidikan pramuka menjadi dipertanyakan secara lebih kritis manakala muncul pertanyaan bagaimanakah peran pramuka bagi generasi muda yang akrab dengan teknologi ini? Is it old fashioned? semaphore, morse code, and so on? Right now we have strava! We have WA! Tapi tetap kesasar walaupun menggunakan aplikasi maps, tidak tahu bahwa dirinya masuk jalur tol, tidak tahu arah pulang ke rumah sendirian, tidak tahu arah utara-selatan-barat-timur posisi kotanya (hal mendasar yang didapatkan pada umur 8 tahun dan secara khusus diajarkan pada tingkat siaga).
Dalam membina dan mendampingi kaum muda, tentunya banyak pengalaman dan kisah menarik yang menyertai. Ketika berada di alam bebas, Pramuka memberi saya waktu yang cukup untuk merenung dan berefleksi. Selama berproses, saya menyadari bahwa ada fitur-fitur menarik dan khas dari pendidikan kepramukaan. Kalau permenungan dan refleksi itu saya kumpulkan, kira-kira sebagai berikut. Mari kita simak bersama.
- Pramuka merupakan kegiatan berbasis karakter (value). Sudah sangat jelas kegiatan pramuka merupakan pendidikan berbasis karakter yang diperoleh bukan secara teoritis di dalam ruang kelas formal, namun diperoleh secara terintegrasi ketika berkegiatan (learning by doing). Momen menghadapi batasan dan kelemahan diri, benturan kondisi ideal dengan realita hidup, fleksibilitas hidup, bertahan dalam keterbatasan, keluar dari kebiasaan, bertanya mengenai siapakah dirinya dan merupakan hal penting untuk diendapkan sebagai pengalaman hidup yang bermakna. Di sini, refleksi menjadi penting untuk menangkap proses-proses transformasi diri agar tidak lepas begitu saja.
- Pramuka dirancang sesuai umur biologis dan psikologis kaum muda. Proses ini digambarkan dengan sangat istimewa oleh Ki Hajar Dewantara dalam slogan pendidikan “Ing ngarso sing tuladha, ing madyo mangun karsa, tut wuri handhayani”. “Ing ngarso sing tuladha” mewakili usia siaga yang selalu dalam kawalan dan bimbingan ayahanda dan bunda. Maka porsi kehadiran dan peran orang dewasa masih dominan (75% vs 25%). Porsi ini menjadi seimbang ketika pada tingkat penggalang “Ing madyo mangun karso” (50% vs 50%). Orang dewasa dan kaum muda berproses bersama. Kaum muda semakin diberikan peran dominan dalam usia penegak dan pandega (25% vs 75%). Tut wuri handayani merujuk pada usaha sadar untuk mendorong dan memberdayakan kaum muda dari belakang. Cara mendidiknya pun tidak boleh sama (sesuai umurnya). Apabila cara mendidiknya kurang tepat, maka berakibat pada kebosanan dan tidak terasahnya karakter yang diharapkan pada usia tersebut. Sebagai contoh, kemandirian yang harusnya muncul pada tingkat SMA (ini yang mungkin disebut sebagai keadaan “belum selesai dengan dirinya”).
- Pramuka berorientasi pada life skill yang dibutuhan dalam kehidupan bermasyakat. Sistem pendidikan pada akhirnya mengarahkan generasi muda untuk hidup bermasyrakat. Life skill yang dimiliki merupakan bekal “berelasi dan komunikasi yang efektif” ketimbang proses analisis yang rumit. Di sini, saya merasa ilmu yang kita peroleh kadang terlalu tinggi, tidak semerta-merta mendarat, dan dapat diaplikasikan atau berguna dalam dunia nyata.
- Pramuka memiliki orientasi belajar mengambil keputusan pada kuadran “important and urgent” dan “important but not urgent” (dapat dilihat pada gambar di bawah ini).
Matriks Eisenhower
Dalam matriks Eisenhower di atas, tampak bahwa dalam pendidikan seorang pandu pramuka dihadapkan pada proses untuk mengambil keputusan secara cepat dan tepat serta selalu siap sedia dalam kondisi apapun (Do). Di sisi lain, seorang pandu diajarkan untuk melakukan “PLAN” untuk melakukan sesuatu hal merujuk pada kata “quality”. Dengan melakukan kegiatan-kegiatan “penting” di atas, seorang pandu pramuka akan mudah mendelegasikan dan mengeleminasi sesuatu secara proporsional dalam konteks tertentu. Scout promise atau yang kita sebut sebagai Tri Satya memiliki kiasan untuk selalu mengingatkan seorang pandu pramuka menjadi pemimpin yang bijaksana (mediator/penegah) meskipun dalam kondisi genting dalam membuat keputusan (win-win solution). Dengan melihat variabel-variabel masalah dan potensi yang ada menghadapi, serta kebinekaan pemikiran dan latar belakang personal maupun komunal. Hal ini membuat seorang pandu pramuka dididik menjadi pribadi yang sangat lentur karena mengakui adanya “daya yang lebih besar”, yaitu Allah dan ciptaan-Nya (ia tidak bisa menentang alam, namun tahu cara menikmati dan membuat diri serta sekitarnya bahagia). Di sini, saya ingin mengatakan bahwa pendidikan pramuka memiliki dimensi “seni memimpin di alam bebas dan pengelolaan massa besar dengan sistem cepat-terorganisir-sistematis dengan melibatkan keputusan-keputusan strategis”. Ketika membaca kalimat ini, tidak semata-mata seorang langsung memiliki kompetensi keterampilannya. Ia perlu mempraktikannya untuk memperoleh pengalaman. Buah perubahan ini memang tidak dapat langsung dirasakan. Ruang refleksi dan ruang hening perlu dihidupkan bukan hanya ruang evaluasi. Dalam arti lain, anggota dewasa pun harus tetap belajar karena manusia itu dinamis, tidak statis. Tidak semua anggota dewasa siap dewasa atau mengaku bahwa dirinya sudah dewasa. Ini mungkin yang disebut belajar sepanjang hayat.
Pelantikan bantara angkatan VIII di Puncak Basundara-Gunung Panderman
5. Pramuka memiliki sistem among dimana anggota dewasa memiliki cara-cara mendidik dan mendamping perkembangan spiritual, karakter, dan kompetensi kaum muda.
6. Pramuka memiliki tanda-tanda kiasan yang memiliki makna dan tanda-tanda kompetensi diri yang disimbolkan sebagai tanda kecakapan diri. Tanda-tanda tersebut disematkan pada seragam pramuka yang menunjukkan tahap perkembangan serta kemampuan diri. Berikut adalah usaha-usaha yang menyertai untuk mempertanggungjawabkan tanda-tanda tersebut bagi masyarakat. Dalam arti lain tanda-tanda ini sekaligus menunjukkan batasan diri pada suatu level kompetensi. Di sini, kita dapat melihat bahwa seorang pandu pramuka diminta mengembangkan kepercayaan diri sekaligus memiliki kerendahan hati, pengakuan akan kelemahan diri, serta keinginan untuk terus belajar.
7. Pramuka memiliki kewajiban moral yang disampaikan dalam 10 dharma. Dharma tersebut dilakukan secara sukarela dan umumnya tidak terikat, bertendensi, dan bertujuan mendapatkan angka atau memenangkan kompetisi semata. Sering terjadi suatu hal dikerjakan karena semata ingin dinilai, dihargai, atau gugur kewajiban. Jika generasi muda selalu diarahkan untuk berkompetisi di usia sekolah atau dimanapun, maka suatu saat relasi yang terbentuk adalah “relasi berkompetisi” dengan sesamanya.
8. Mari kita ingat bersama, bukankah kita akan selalu bercerita/mengingat pengalaman kita saat kemah? Ada apa ya? Hehe… kegiatan Pramuka memang akan membawa pada pengalaman dan kenangan yang mengasikkan serta tak terduga. Hidup seperti diterima dan dinikmati saja. Seseorang pemimpin tidak hanya dilihat kompetensi profesionalnya saja namun perlu memiliki pengalaman hidup yang menunjukkan sisi kematangannya.
9. Ilmu Kepramukaan sebenarnya adalah dasar beberapa ilmu terapan seperti mountaineering, hiking, SAR, pecinta alam, dan lain-lain. Hal mendasar yang sangat khas di dalam Pramuka adalah penggunaan tali dan tongkat yang dapat dikreasikan menjadi banyak bentuk dan fungsi. Berbagai simpul, gabungan tali, dan ikatan diajarkan untuk menciptakan sesuatu hal. Dapat dikatakan pramuka merupakan paket lengkap untuk seorang yang mau belajar life skill. Tentunya, ilmu tersebut perlu ditempuh dan perlu setia dalam prosesnya (tidak langsung jadi).
10. Pramuka tidak sembarangan dalam membina anggota muda. Ada panduan bina Pramuka dan metode khusus dalam bina Pramuka yang disebut Prinsip Dasar Kepramukaan dan Metode Kepramukaan (PDK-MK) yang meliputi; kegiatan di alam terbuka, tanda penghargaan kegiatan berkelompok, bekerja sama, berkompetisi, kegiatan menarik dan menantang, learning by doing, dan satuan terpisah antara putra dan putri.
11. Profil Pandu Pramuka. Proses Pendidikan Kepramukaan ternyata menciptakan kekhasan pada Pandu Parmuka karena selalu membuat Pandunya berpikir alternatif/ out of the box dalam kondisi terbatas. Situasi yang terbatas inilah yang menyebabkan pramuka menjadikan pribadi yang kreatif dalam berpikir. Di sisi lain, pramuka memiliki kedisiplinan ala militer (semi militer) yang menyebabkan ia selalu siap sedia.
12. Kegiatan pramuka memang dilakukan di alam terbuka dengan level risiko yang berbeda-beda. Dari yang masih menapak tanah, di dalam medium air, hingga beraktivitas di udara. Sebagai contoh saat berkegiatan di gunung, karakter asli seseorang akan terlihat. Ia tidak bisa berbohong/berpura-pura karena ia bertemu dengan faktor pembatasnya. Hal ini menyebabkan pandu pramuka terbantu untuk mengenal siapakah diri dan juga mengenal karakter sesamanya. Siapakah aku yang asli? Dengan mengenal diri, maka seorang pandu akan mencoba mengenal dirinya dan memahami kekurangannya, memaksimalkan potensi, tampil apa adanya, lalu mengenal dan memahami karakter sesamanya, serta akhirnya siap berperan di masyrakat dan bangsa. Kita perlu menyadari bahwa “asli itu kuat”.
Penempuhan brivet tapak merah-bintang merah di Gunung Lincing
13. Ada yang menarik ketika saya mempelajari kepramukaan. Bahwa pramuka mengajak saya untuk menjadi pribadi yang bahagia. Pribadi yang bahagia memiliki maksud sebagai pribadi yang mengetahui cara “bagaimana kita tetap bisa berbahagia” (dan jika mampu) menciptakan kebahagiaan dalam kondisi, situasi apapun, dan bagi siapapun.
Calon bantara berbelanja di pasar tradisional dengan budget terbatas dan memenuhi kebutuhan makan di dalam kelompok
Selama sekitar 10 tahun membina pramuka, saya mengamati, merenung, dan berefleksi bahwa terdapat beberapa kesenjangan yang terjadi pada generasi muda kaum milenial yang perlu direspon secara proporsional. Kesenjangan tersebut saya tuangkan dalam poin-poin antara lain sebagai berikut
1. Kebutuhan untuk berelasi sosial, fleksibilitas, dan nasionalisme. Generasi muda diajak untuk belajar berelasi secara inklusif. Generasi muda terlihat cerdas dalam menyelesaikan proses studi di sekolah namun mereka terpisah dari masyarakat atau realita kehidupan sehingga tidak mengenal tetangga atau kesulitan menempatkan diri dalam relasi baru. Lunturnya nasionalisme dan kerawanan perpecahan bisa sangat mungkin terjadi karena generasi muda disibukkan dengan dunia virtual.
2. Belajar membuat “produk hukum” dan menaatinya. Pada usia SMA (penegak), mereka perlu belajar untuk membuat, menyepakati, dan menaati peraturan yang telah dibuat (Tahap perkembangan moral Kolberg tingkat 3 pasca konvensional-level 5). Hal ini penting diberikan karena pada suatu tempat pasti ada adab yang dijunjung.
3. Lemahnya kemandirian dalam kemampuan practical and technical skill peserta didik (handling alat). Keterampilan kepramukaan diharapkan dapat memicu peserta didik agar memiliki kemampuan dalam menggunakan alat dan menyelesaikan masalah menggunakan alat yang tersedia atau bahkan tidak tersedia secara ideal dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah maupun di masyarakat. Program scout in home diciptakan untuk menyelesaikan masalah tidak terhubungnya/lemahnya kemandirian peserta dalam menyelesaikan suatu masalah serta mendukung penerapan skill kepramukaan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Lemahnya kemandirian dalam menyelesaikan masalah dan bertahan serta berpikir fleksibel dalam kondisi yang tidak mudah/tidak biasa/tidak terduga/tidak sesuai pakem kebiasaan (adversity). Kegiatan Pramuka menciptakan ruang ketidakidealan untuk dipahami, diterima, dan dicarikan solusinya.
Persiapan sebelum berangkat menuju pos berikutnya
5. Kegiatan seni. Ditunjukkan dalam butir Syarat Kecakapan Umum (SKU) bahwa di dalam kegiatan kepramukaan terdapat kegiatan seni. Kegiatan seni merupakan bentuk usaha untuk membuat keseimbangan rasional dengan olah rasa peserta didik. Manusia-manusia yang pintar merupakan tujuan dari pendidikan sekaligus merupakan sebuah kelemahan, manakala terjadi manipulasi-manipulasi untuk memenangkan diri sendiri, serta pembunuhan dalam bentuk apapun. Kejahatan yang paling berbahaya adalah kejahatan yang menggunakan pikiran. Maka, ruang olah rasa dan refleksi perlu dihidupkan untuk menyeimbangkan diri generasi muda.
Rosario Laudato Si’ dan misa di alam bebas, terasa berbeda
6. Spiritual ekologis. Pada zaman sebelum teknologi merajai hidup manusia, relasi manusia dengan lingkungan sebenarnya sudah berjarak. Jarak dengan alam menjadi melebar manakala modernisasi dan teknologi ada di depan mata dan dalam genggaman. Kehadiran teknologi tampaknya semakin melemahkan koneksi antara manusia dengan lingkungan seakan semua selalu tersedia secara ideal. Spiritual ekologis menjadi semakin dirasa penting, manakala masa SMA adalah pintu terakhir seorang siswa mendapatkan pembelajaran tentang bagaimana menempatkan dirinya dalam berlingkungan hidup (secara terstruktur dan diprogramkan). Fase kuliah adalah fase yang lebih bebas dimana peserta didik dianggap lebih dewasa dengan pilihan-pilihan yang dimiliki.
Kegiatan bersih sampah di pos 2 pendakian oleh calon bantara
7. Fungsi partisipasi/keikutsertaan. Ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan sepertinya sesuatu hal yang remeh/tidak penting (seperti ikut kerja bakti). Namun, sangat terasa dalam kehidupan masyarakat. Maka, peserta didik diajak sedini mungkin untuk menguatkan keinginan, ikatan, dan motivasi berkegiatan yang “tidak dinilai” atau melakukan sesuatu hal tidak langsung tertuju untuk kepentingan dirinya (mengerjakan sesuatu hal namun terutama bukan untuk dirinya).
Future scout? Masih perlukah pendidikan kepramukaan dalam konteks saat ini dan masa depan? Nyatanya, kita selalu bersyukur manakala tetangga kita adalah orang pertama yang membantu kita dan bahkan mampu memandikan jenazah saat mungkin membutuhkan pertolongan. Pertanyaan-pertanyaan kritis dapat menjadi ruang dialog bersama secara berkelanjutan di antara anggota dewasa untuk turut menghidupkan budaya diskusi yang “urup dan urip”. Ruang-ruang informal “jauh” dapat memberikan kreasi, imajinasi, dan energi positif. Madu-madu hasil proses kepramukaan memang tidak bisa langsung dirasakan. Kita pun perlu lebih rendah hati untuk mengatakan tidak seorang pun yang dapat memprediksi masa depan. Mendidik sesuai umur dan harmoni mengisi dalam satu kesatuan jauh lebih penting agar tidak terjebak pada substansi materi. Utama dan pertama sesederhana kata untuk “ngemong anak muda-(asih-asah-asuh)”.