“Lebih Baik Sekali Melihat daripada Seribu Kali Mendengar” Pertemuan Pelajar Internasional (Indonesia – Jerman – Polandia)

Penulis: Ni Nyoman Maha Raya
Kesempatan tak terduga
Sungguh kabar yang mengejutkan dan menggembirakan ketika seorang kolega guru dari Polandia mengirimkan undangan bagi siswa SMA Katolik St. Albertus Malang untuk mengikuti proyek pertemuan pelajar internasional yang didukung oleh “Deutsch-Polnisches Jugendwerk” (Organisasi Pemuda Jerman – Polandia), tawaran ini sangat menarik mengingat penyelenggara juga bersedia membiayai seluruh kegiatan dan akomodasi kami selama kegiatan berlangsung. Program tahun ini mengusung tema sejarah dengan tajuk “Vergesst nicht!” (janganlah lupa!). Dimana peserta belajar tentang dan dari sejarah kelam perang dunia kedua.
Kesempatan ini mendapat respon yang baik dari sekolah dan ada delapan siswa Dempo yang mengikuti program ini. Serangkaian persiapan kami lakukan, mulai dari pengurusan serangkaian dokumen dan visa yang membuat “sport jantung” karena izin masuk ke wilayah Schengen Eropa memang ketat, sampai membaca referensi dan mendengarkan Podcast yang dikirimkan panitia tentang sejarah tempat-tempat yang akan kami kunjungi.
Petualangan pun dimulai
Perjalanan kami ke lokasi pertemuan saja sudah menyajikan petualang tersendiri. Sabtu pagi (2/9/2023) pukul 06.30 kami meluncur dari Malang menuju bandara Surabaya untuk bertemu dengan satu peserta lain dari Wisma Jerman Surabaya dan bersama-sama terbang ke Jakarta. Dari Jakarta kami bertemu satu teman lagi dan berangkat menuju Austria melalui Abu Dhabi yang sayangnya harus mengalami delay sehingga kami harus menunggu transit selama enam Jam di bandara Abu Dhabi dengan gate yang berpindah-pindah tanpa konfirmasi dari maskapai. Kami terpaksa tidur di kursi dan lantai bandara. Hal tersebut cukup melelahkan dan menegangkan karena keterlambatan tersebut mengakibatkan kami harus menjadwal ulang perjalanan kami dari Austria ke Polandia, yang pada akhirnya karena kemurahan Tuhan kami masih mendapat tiket bus di menit-menit terakhir. Setelah serangkaian drama berlarian sambil menenteng ransel dan menyeret koper, akhirnya kami tiba di penginapan daerah Polandia pada hari Minggu (3/9/2023) pukul 22.00 waktu setempat.
Hari pertama kami pun bertemu dan sarapan bersama peserta lain dari Polandia dan Jerman, masih canggung untuk saling bertegur sapa dan berkenalan. Program di hari-hari pertama adalah tur ke Kamp Konsentrasi Auschwitz dan Birkenau, Krakow bersama pendamping yang menjelaskan setiap detail sejarah yang pernah terjadi di tempat-tempat itu. Kami dapat merasakan betapa ngeri dan kelamnya masa itu, terutama bagi bangsa yahudi yang menghadapi diskriminasi yang keji. Selesai program tur selalu diikuti dengan workshop. Pada hari pertama, tema yang diangkat adalah “Perempuan dalam Kamp Konsentrasi”. Kami berdiskusi dalam kelompok untuk kemudian mempresentasikan bagaimana kondisi para wanita yang berada di kamp konsentrasi, bagaimana mereka berusaha berjuang hidup, bagaimana akhirnya sebagian kecil berhasil selamat dan apa yang mereka hadapi sesudahnya. Di hari kedua kami mendapatkan tema “das elfte Gebot bleibt nicht gleichgültig” (Perintah kesebelas: jangan acuh tak acuh). Pada diskusi kali ini, kami belajar bagaimana sejarah kelam yang terjadi sebenarnya bisa saja dihindari jika saja kita bisa lebih bertoleransi dan berhenti bersikap acuh tak acuh untuk menciptakan dunia yang lebih baik.
Hari – hari berikutnya kami dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari gabungan tiga negara dengan satu tugas khusus yaitu menggunakan arsip digital Arolsen untuk mencari tahu tentang kehidupan salah satu narapidana di camp konsentrasi dan kemudian mempresentasikannya. Selain itu bersama kelompok tersebut kami juga mengunjungi beberapa museum, istana Wawel dan tempat-tempat di pusat kota. Rangkaian kegiatan ini membuat kami lebih banyak berinteraksi dengan teman-teman dari negara lain, berbagi kontak dan akun media sosial, menjalin pertemanan, berbagi pendapat dan pengalaman. Kesan mereka kebanyakan adalah “Orang Indonesia asyik-asyik ya!”
Selain berkegiatan di Polandia kami juga berkunjung ke Praha, Ceko. Di kota cantik ini kami diundang oleh Pimpinan Goethe Institute yaitu Bapak Thomas Freundorfer untuk mengunjungi sekolahnya dan berkeliling kota dan juga bertemu dan berdiskusi dengan eyang Soegeng Soejono, seorang pelaku sejarah yang pada tahun 1965 tidak diijinkan pulang ke Indonesia karena alasan politik sehingga kemudian kehilangan kewarganegaraan. Namun demikian hal itu tidak mengurangi nasionalisme Beliau, sehingga selama di Praha ia terus mengikuti perkembangan RI dan mengenalkan kebudayaan Indonesia lewat seni dan seminar-seminar bagi pelajar Indonesia di Ceko. Sungguh pengalaman yang bernilai karena Beliau banyak memberikan wejangan bagi kami dan membuka cakrawala berpikir kami dengan mengunjungi banyak tempat dan bertemu banyak orang. Pepatah Cina mengatakan “Lebih baik sekali melihat daripada seribu kali mendengar” disampaikan Beliau untuk memotivasi kami.
Perjalanan kami lanjut ke Munich, Jerman. Di sana, kami berkesempatan bertemu dengan staf konsulat Indonesia di Jerman yang menjelaskan tentang sistem bersekolah, kuliah dan magang di Jerman dan juga mengantarkan kami berkeliling pusat kota Munich, di antaranya mengunjungi Universitas Ludwig Maximilian yang merupakan salah satu universitas tertua dan unggulan di Munich. Kami juga mengunjungi stadion Allianz Arena yang merupakan sarang dari klub sepak bola Bayern Munchen. Sungguh semua adalah pengalaman yang tak tergantikan.
Lain ladang, lain ilalang, lain lubuk, lain ikannya
Peribahasa itu tepat adanya, setiap negara punya aturan atau adat yang berbeda-beda. Culture shock yang kami hadapi bukan hanya cuaca yang ekstrem karena matahari bersinar panas tapi udara berhembus dingin. Selain itu makanan yang melulu roti, sosis, daging, pasta yang rasanya pun tidak sekaya Indonesia, walaupun memang lebih sehat dan bergizi. Di samping itu, kami agak kewalahan mengikuti kebiasaan berjalan mereka. Mereka sangat suka berjalan kaki. Dalam bahasa Jermannya mereka lebih suka “laufen” (jalan cepat) bukan “gehen” (berjalan santai). Nah, kebiasaan laufen ini yang agak sulit kami lakukan, mengingat di Indonesia kami jarang berjalan kaki, ke warung terdekat saja lebih sering naik sepeda motor. Hal itu mengakibatkan kami sering tertinggal dari kelompok. Meskipun begitu, hari demi hari kami sudah mulai terbiasa walaupun kaki lecet dan pegal-pegal setelahnya.
Dalam perjalanan ini kami, juga belajar banyak hal tentang ketepatan waktu, keberanian mengemukakan pendapat, membaca jadwal atau rute bus dan kereta api, petunjuk arah, petunjuk penggunaan barang, dan lain-lain bisa mempermudah hidup kita.
“Dunia ini adalah sebuah buku, dan mereka yang tidak melakukan perjalanan hanya membaca satu halaman.” – St. Agustinus
Mengikuti pertemuan pelajar internasional adalah pengalaman yang sangat berharga. Salah satu manfaat utamanya adalah kemampuan untuk belajar tentang beragam budaya yang ada di dunia. Melalui interaksi sehari-hari dengan teman-teman dari latar belakang yang berbeda, siswa dapat mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang nilai-nilai, tradisi, dan cara hidup orang lain. Hal ini membantu mengurangi prasangka dan mempromosikan toleransi serta kerja sama lintas budaya. Juga membantu mengembangkan keterampilan kolaborasi, negosiasi, dan pemecahan masalah dalam lingkungan yang semakin multikultural. Harapan kami adalah agar semakin banyak siswa yang memiliki kesempatan untuk mengikuti pengalaman ini. Semakin banyak proyek pertukaran atau pertemuan pelajar internasional yang dapat diakses, semakin besar dampak positifnya terhadap pemahaman dan kerja sama lintas budaya. Dalam dunia yang semakin terhubung, mengikuti pertemuan pelajar internasional adalah salah satu cara terbaik untuk mempersiapkan generasi muda untuk menjadi pemimpin yang berpengaruh dan pemikir global.